Kalah. Telak.

| Jumat, 10 Juni 2016
Kalah. Telak.
Ia kira selama ini baik-baik saja, namun ternyata ia terlalu naif untuk mengakui bahwa mimpinya baru saja hancur, tak tersisa. Ia kira waktu akan membawakannya hasil yang memuaskan, namun kenyataan membawanya kembali meringkuk di atas kasur, bergelut dengan selimut tebal. Pahit.

Basa-basi. Adakah yang salah dengan basa-basi?, mungkin negara ini salah terlalu menjunjung tenggangrasa, namun justru basa-basi bisa jadi dianggap kepedulian yang berlebihan dan berujung sakit hati. Tidak, egonya terlalu tinggi untuk sakit hati. Sudah cukup, ia tidak ingin berubah menjadi wanita jahat yang perannya selalu antagonis. Namun bisakah kali ini saja ia egois? Hanya kali ini saja... ia terlalu lelah melihat kehancuran kepercayaan dirinya yang sudah bertahun-tahun ia bangun. Roboh.  

Ia bukan wanita jahat, ia cukup paham perannya telah usai, mungkin sudah beberapa tahun lalu usainya, tapi ia memilih menutup mata. Karena ia percaya di depan sana masih sama, tidak berubah, sama seperti dirinya. Setidaknya kepercayaan itu masih ada beberapa jam lalu, sebelum kenyataan membentur kepalanya untuk membuka mata lebar bahwa saat ini mereka sudah berbeda. Berbeda yang sama sekali tak sama. Jadi untuk apa ia bertahan setelah penolakan tersirat itu datang padanya? Kalah. Telak. Kekalahan yang tak perlu diungkit-ungkit, ia cukup cerdas dan tahu diri bahwa ia tidak lagi diinginkan. maka cukup sudah, ia akan mundur. Kalau perlu ia akan menghilang, tak peduli dengan cemoohan pecundang yang keluar dari setiap mulut, ia tak peduli. Yang ia tahu ia akan kembali terjatuh kalau dari sekarang ia tak membangun tembok tinggi yang bernama ketidakpedulian.

Hari ini takdir berbicara baik-baik dengannya, namun mengapa justru terasa sangat menyakitkan?    
Bagaimana bisa takdir seorang wanita baik selalu harus jatuh cinta dengan lelaki yang selalu menyakiti hatinya? 
"Tapi ia laki-laki baik" hatinya berteriak
"Namun tetap saja menyakitkan" kembali ia menyangkalnya
Cinta. Jangan salahkan cinta, ia bahkan tidak pernah ingin jatuh cinta, apa daya cinta telah memilihnya, memilih seseorang yang jauh dari diharapkannya untuk jatuh cinta. Dan itu sudah cukup untuk kembali menguras emosi yang mati-matian ia tahan untuk tidak besikap egosentris. Logika yang tidak terpakai menumpulkan hati, melakukan pembenaran atas tidakan-tindakan yang tanpa sadari telah ia lakukan. Sudah cukup. Sudah cukup ia jatuh, Karena cinta saja sudah sangat mengerikan, apalagi sampai terjatuh. Cukup

Sudah cukup ia jatuh cinta sendiri. Ia bersumpah tak lagi mengungkitnya, menyebutkan sebuah nama yang tidak akan pernah bisa ia benci. Hanya ia akan berhenti. Tetap akan berhenti meskipun nama itu yang memintanya untuk jatuh cinta lagi. Kecuali jika Tuhan tak memihaknya lagi.   


0 komentar:

Next Prev
▲Top▲