Newest Post

Yang Keren Yang Mentoring

| Rabu, 23 Mei 2012
Baca selengkapnya »
“Mentoring”, apakah itu?
Apakah penting?
Apa manfaatnya bagi kita?
Pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang berasal dari orang-orang awam yang belum mengetahui tentang mentoring dan juga belum pernah mengikutinya. Namun yang sudah tahu dan pernah mengikutinya, ada juga beberapa yang masih kurang begitu tertarik, mungkin karena belum ada panggilan jiwa yang membuatnya sadar akan pentingnya mentoring agama islam. Atau mungkin karena baru saja mengikuti dan belum terbiasa dan belum bisa menikmatinya sehingga masih belum dapat mendapatkan hikmah mentoring.
Mentoring itu berlangsung dalam suatu kelompok kecil untuk berdiskusi. Namun diskusi itu berlangsung secara rutin karena keterkaitan orang-orang yang ingin belajar tentang Islam. Di dalam mentoring, disampaikan pemahaman dasar tentang Islam, di antaranya : mengenal Allah, mengenal Rasul, megenal Al-Quran, mengenal akhlak dan mengenal dunia Islam. Di dalam mentoring terjadi transfer pengetahuan, baik dengan cara berdiskusi maupun dengan cara belajar bersama.
Untuk menjadi seorang mentor, seseorang tidak memerlukan gelar tertentu. Yang dibutuhkan hanyalah pengalaman dan pengetahuan yang lebih, agar bisa membimbing seseorang menjadi lebih baik. Berbeda dengan seorang guru atau bahkan dosen, yang memerlukan pendidikan dan gelar tertentu agar bisa mengajar dalam suatu lembaga pendidikan. Selain itu mentoring juga tidak dikenakan biaya (gratis). Sehingga kita sudah termasuk sangat untung, karena kita bisa menambah pengetahuan kita tanpa mengeluarkan biaya. Sedangkan kalau kita belajar dalam suatu lembaga pendidikan, kita masih dapat dikenaka biaya. Bahkan setiap tahun biayanya semakin mahal, walaupun sudah mendapat bantuan dari pemerintah tapi masih ada beberapa orang masih sangat terbebani, terutama bagi yang perekonomian keluarganya masih tergolong kurang.   
Tapi, sayangnya kebanyakan orang masih memandangnya hanya dengan sebelah mata saja. Menganggap bahwa mentoring itu tidaklah penting, membosankan dan hanya buang-buang waktu saja. Apa lagi pada jaman sekarang, kebanyakan anak muda kurang begitu tertarik pada sesuatu yang berbau religius, karena di anggapnya membosankan, menjenuhkan. Namun hal tersebut tidak terlihat di PGSD FIP UNNES, buktinya kemarin pada saat dilaksanakan Stadium General oleh TPAI, banyak sekali partisipasi dari para mahasiswa. Ya... mungkin ada juga yang ikut karena memang di wajibkan.
Dalam stadium general tersebut telah dibentuk kelompok-kelompok dengan mentornya masing-masih. Kemudian setelah dibentuk kelompok tersebut, sekarang diadakan mentoring secara  rutin tiap minggu sekali. Mungkin masih ada juga mahasiswa yang masih terpaksa mengikuti mentoring tersebut karena tuntutan dari dosennya. Namun walaupun demikian masih ada harapan agar setelah terbiasa mengikuti mentoring tersebut mahasiswa yang tadinya terpaksa mengikutinya bisa menjadi menikmatinya. Semoga saja yang menyadari akan pentingnya mentoring menjadi semakin bertambah setiap waktunya. Sesungguhnya dalam beribadah, Allah tidak akan merasa bosan sampai kita bosan.


Jadi “Yang Keren Yang Mentoring” :D

Yang Keren Yang Mentoring

Posted by : la plui
Date :Rabu, 23 Mei 2012
With 0komentar

Ketika Senja Menemukanmu

| Selasa, 22 Mei 2012
Baca selengkapnya »


Aku tak mengerti mengapa tiba-tiba aku ingin menulis cerita ini, tapi satu hal yang pasti sedang aku rasakan ini, rindu. Kisah ini bermula dari beberapa tahun yang lalu dan aku tak kan pernah melupakannya, sebuah penampungan yang dulu selepas masa SD aku tak pernah membayangkan akan berada di sana setelahnya, karena aku adalah tipe anak yang tak pernah jauh dari orangtuaku, namun aku menyadari bahwa aku memang berada di sana tepat 6 tahun yang lalu.
                Aku menyebutnya sebuah penampungan, tapi tentu saja itu tidak masuk akal, sebuah penampungan tidak akan seperti ini, karena menurutku, penampungan itu adalah tempat yang mengenaskan, tapi nyatanya ini adalah baik-baik saja (untuk waktu yang dekat setidaknya -.-”). Mungkin sebutan kampung lebih enak tepatnya untuk bisa masuk dan kemudian keluar lewat  telinga, yaah.. harus di mengerti bahwa aku pada waktu itu memang kejam, sedikit kejam maksudnya, mungkin akibat paranoid atau penyakit semacamnya.
                Melelahkan..., setidaknya itu  kesan di bulan pertama aku menjalani sebuah kehidupan tanpa ada kata yang namanya “kekonyolan”, aku memang type anak banyak tingkah dan kau tau..?? banyak tingkah disini mengakibatkan sebuah (beberapa buah mungkin) hukuman, pengurangan point atau bahkan penyadapan telepon umum, benar-benar....!! aku bahkan pernah tidak bisa menggunakan telepon umum gara-gara melakukan tindak kekonyolan yang seharusnya tidak pernah terjadi...ohh, what a poor I am. T.T
                3 tahun berlalu, kemudian 2 tahun lagi menyusulnya untuk berlalu, masa kekanak kanakkan ku telah habis, berganti dengan sebuah paradigma masalah yang baru pula, aku kini sudah berada di tempat jauh yang dulu aku tak bermimpi untuk menjangkaunya, bayangan-banyangan masa lalu itu selapis demi selapis terlepas dari ingatanku, seperti bunga padang yang bila di tiup akan terbang dengan sebuah tiupan harapan. Jenuh...?? sedikit, tapi aku harus melewatinya.
                Tiba-tiba waktu dini hari, 4.00 wib aku terduduk memikirkan jalan hidupku... tidak lurus-lurus amat, mungkin lebih banyak belokannya ketimbang yang lurus, hanya aku ingin menangis, entah apa yang harus aku tangisi, tidak ada alasan, hanya ingin memangis, bukan karna hidupku, bukan karena sahabatku, bukan karena keluargaku dan bukan juga karena kisah cintaku. Aku menangis.
                Orang yang memiliki kelenjar air mata yang banyak adalah beruntung, tak tau kenapa, karena pasti setiap ada masalah tak lebih dari beberapa jam kemudian mereka bisa tersenyum riang seolah-olah tidak ada sesuatu sebelumnya, aku benar-benar iri. Aku hanya bisa menangis apabila ada sesuatu hal yang sangat berat aku rasakan...Masih dalam seragam SMA waktu itu, ketika luapan amarahku kepada orang tua tak kunjung reda, mama hanya uring-uringan ketika bisnisnya mulai hancur, sedang papa tak tau kemana perginya. Kini aku bahkan tak tau bagaimana kabar keduanya, karena aku di sini, di tempat jauh di mana mereka tak kan peduli lagi padaku.
                Sesaat aku tersadar dari lamunanku, bergegas melipat mukena yang masih menempel, teringat akan jam pagiku kini, 3 sks dengan dosen yang menurut teman-teman salah satu dari dosen yang notabenenya killer. Tak pernah kusangkal dengan opini yang beredar selama ini. Dosen satu-satunya yang menghendaki kualitas mahasiswa yang real, nyata dengan kualitas usia dan pencapaian ilmu yang selama ini telah ditempuh. Dan itu kurang lebih selama 14 tahun berjalan selama ini.


07.00, kampus hijau
                Sepertinya benar, mentari pagi enggan memancarkan cahayanya yang cemerlang. Seolah-olah telah mencuri pandang isi hati mahasiswa rombel a ini, aneh memang tapi mungkin itu juga bisa menjadi satu-satunya alasan yang pas buat kami, para mahasisiwa yang ilfil dengan dosen matematika ini.
                “ Sarah..??” sebuah suara tiba-tiba dan tanpa kuizinkan telah terdengar di telingaku. Aku memiringkan kepala yang pada saat itu posisiku sedang duduk tanpa beralaskan apapun di taman depan Gedung auditorium. Ternyata Jimmy, teman satu rombel. Heran..? tentu saja iya, karena Jimmy merupakan kalangan cowok-cowok keren tetapi sangat eksklusif, yang jarang sekali mau bertegur sapa dengan para gadis-gadis kampus kecuali dari firqah-firqah mereka. (kata mereka sih firqah = golongan). Tapi tau dehh.. aku agak sensi ketemu mereka, ganteng sih ganteng, tapi kalo membeda-bedakan temen sih yaa namanya sama saja. Namun disini aku harus calmdown.
                “ oh Jimmy..?? ada apa?” tanyaku heran,
                “ enggak, ini.. ada salah satu dari temanku yang bilang kalau kmu bakat buat handicraft spesialis flanel, emm.. kira-kira kmu mau nggak ngajarin temen-temenku?” jelasnya sembari mngelurkan undangan itu. Aku hanya tersenyum. Dan ia beranjak pergi.
Ba’da Ashar, Az-zahra
                Kuparkirkan motorku di depan sebuah bangunan yang nyaris tua, Az-Zahra. Sedikit termangu ketika membaca nama yang tertera di papan bercat biru muda itu. Pelan, kulangkahkan kakiku menuju pintu masuk utama, mataku langsung tertuju pada sosok yang sedang menata shaf teman-teman kecilnya, ya.. baru kutahu kemudian ternyata bangunan ini adalah panti asuhan. Ia menoleh sesaat, mata itu terpaku menatapku, aku menangkap secercah senyum itu, kembali. Sengaja mengurai kembali kisah klasik yang sempat bungkam dalam labirin. Namun justru aku kembali terdiam tetap dalam pijakanku yang sama. Berat sekali rasanya ketika harus bertemu dalam keadaan seperti ini. Aku hanya berharap menghilang dalam detik itu juga.
“Sarah... bukannya aku ingin berhenti ketika sebelumnya sudah kukatakan bahwa ternyata persimpangan jalan itu sudah di depanku, Bukan pula karena kamu ketika akhirnya kuputuskan bahwa aku tiba-tiba ingin mengakhirinya, sungguh  bukan sarah... hanya kini waktuku yang tersisa meski kemudian kau dan aku tau bahwa jauh bukan berarti tidak bisa, tapi kumohon jangan membenciku, jangan membenciku selagi aku ingin menjejakkan kakiku di nege.....” belum sempat Aris menyelesaikannya, aku menangis, berlari meninggalkannya, yang baru kutahu itu waktu yang lama untuk bisa bertemu. Aku menyalahkan dia, menyesali keputusannya, dan tanpa sadar aku mulai membencinya.
Namun, butuh waktu yang lama agar aku bisa tidak lagi mengingatnya, mengingat waktu yang kita habiskan hampir selalu bersama, dan waktu 2 tahun telah menghapusnya.
“Sarah... lama tak bertemu” senyumnya mengembang. Aku masih tak berkutik di depannya, beruntung kemudian Tika, temanku, menyeretku untuk segera melakukan prepare di ruangan dalam. Sekuat tenaga aku mengusir bayangannya.
“Kamu baik-baik saja kan? Lihat... sepertinya dirimu mencemaskan sesuatu, perlu aku bantu?” tanya Tika
Aku hanya menggeleng lemah, pertemuan tadi benar-benar membuatku lemas. Ah.... seandainya aku bisa melarikan diri saat ini juga. Tapi entah kenapa tiba-tiba aku di kejutkan oleh tepukan kecil di bahuku, mataku membulat, sosok mungil itu memenuhi pupil mataku sekarang. Mata abu-abunya memancarkan aura yang aneh, tapi aku bisa meraskannya. Terkejut ketika ia dengan tangan mungilnya memelukku pelan, aku heran dengan malaikat mungil ini.
“Ada apa sayang...?” ucapku lembut sembari menangkupkan kedua tanganku pada bulat wajahnya.
“Kakak...” bisiknya pelan. Aku terdiam menunggu kata yang akan keluar selanjutnya, namun kata itu tak juga kunjung terlontar dari bibirnya. Ku usap pelan kepalanya, ku cium keningnya seperti yang biasa aku lakukan pada keponakanku.
“Aku ingin sama kakak...kumohon jangan pergi kak....”
Aku hanya mematung mendengar ucapannya, kutatap mata Tika yang pada saat itu sedang menatapnya. Beralih lagi tatapanku pada bocah yang masih saja memelukku ini. “ iya sayang... kakak masih disini kok...Dika (ku tau namanya saat Tika menlafalkan nama itu) maen dulu sama temen-temen yak... kak Sarah mau nyiapin kain flanel dulu...” dia hanya mengangguk dan perlahan bangkit menuju teman-temannya.
                Aku menarik nafas panjang, baru setelah Tika cerita ternyata Dika kehilangan seorang kakak yang mirip wajahnya dengan wajahku, katanya waktu itu saat Dika tengah bermain bola di depan rumah entah kenapa tiba-tiba bola itu meluncur di tengah jalan yang dari arah berlawanan meluncur pula sebuah mobil yang sama kencangnya, kejadian itu tak dapat dihindari lagi, karena sebenarnya takdir telah tertulis, bahwa hidup mati seseorang telah tercatat pasti. Ia beranjak dan mengambil sebuah foto yang kemudian di serahkannya padaku. Tak pernah tau bagaimana ekspresiku saat itu, tak pernah juga berfikir bahwa seseorang yang ada pada foto tersebut aku telah mengenalnya sebaik aku mengenal diriku sendiri.
                “Kau tau Sarah... sehabis SMP ini aku mungkin gak pernah liat kamu lagi, mungkin juga aku kan kembali ke Bali dan tak akan ke Jawa lagi, melanjutkan SMA dan Kuliah di sana, Menikah pun mungkin juga akan di sana hehee... jadi ini aku kasih sulaman tercantiikkk diduniiaaa hehe” terkekeh ia saat seminggu terakhir sebelum akhirusannah.
“heyy...sapa tau kau akan dapat jdoh disini, sapa tau kakakku aku suruh buat melamar kamu...”
“yee sapa yang mau...”
“yaa kamu lah.. masak aku?? Kan aku adeknya”. Kami hanya bisa tertawa lepas sesore itu..
                                                                                                .........
“Aku pulang dulu yaa Sarah... nanti kalau aku sudah sampai di Bali aku hubungi, itu kakakku sudah sampai” lirih berkata padaku, memelukku erat seakan ia benar-benarakan hilang. Dan aku hanya terdiam tak tau bagaimana, sahabat ku kini akan pergi setelah apa yang dilakukan selam 3 tahun secara bersama-sama, aku hanya diam memeluknya semakin erat, air mataku berlinang, aku tak bisa menangis, hanya air mataku yang deras mengalir. “ Sampai jumpa kawan... hati-hati di jalan.. jangan pernah melupakanku”. Hanya anggukan yang akhirnya melepaskan pelukan kami pada sore di Kampung yag dulunya kubenci sepenuh hati. Ada yang hilang.
Teringat kembali memori yang sempat hilang itu, Sasti, seorang teman yang sudah aku anggap sebagi keluargaku sendiri kini benar-benar telah pergi. Semoga tempatmu kini lebih baik dari yang sebelumnya sas...
Sore hari, Ketika Senja mulai meranjak
Harapan, keinginan, ketecapaian tidak selalu datang secara tiba-tiba dan kebetulan, namun ia datang ketika memang ada hal yang perlu diharapkan, seperti sekarang ini tatkala suatu hari memiliki kejuatan untukku, tentang masa laluku, tentang kisah cintaku, tentang kehidupan nyataku, dan kehidupan yang yang akan menyapaku esok, aku akan berharap semua selalu akan baik-baik saja..., seperti kehidupan burung yang bebas namun ia tak terlepas begitu saja...., dalam sepotong senjaku, kini aku selalu berdua bersamanya.....


               
                

Ketika Senja Menemukanmu

Posted by : la plui
Date :Selasa, 22 Mei 2012
With 0komentar

Dia yang Muncul pada Sepotong Episodeku

| Kamis, 10 Mei 2012
Baca selengkapnya »
Rabu, 9 Mei 2012 di Dapan Asrama Mahasiswa

Dengan setengah hati akhirnya aku berhasil melangkahkan kakiku menuju kampus hijau, sebelumnya aku nggak tau kenapa kampus ini di sebut kampus hijau, mengira kalau cat yang di gunakan berwarna hijau, namun tanpa di sangka setelah masuk pada bangunan kampus, tak ada satu pun bangunan yang di cat dengan warna hijau. Baru sepekan kemudian aku tau, bahwa julukan kampus hijau itu karena bendera atau lambang dari fakultas itu berwarna hijau. Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP).

Bukan kali ini saja Tari, temanku satu angkatan menggerutu kesal karena ulahku yang kurang inovatif, selalu santai meskipun ada ulangan tiga bab, UTS maupun segala bentuk pengajaran yang paling tertindas sekalipun, pasalnya Tari akan selalu heboh tiap kali urusan dengan ujian. Hmmm... anak itu..., aku pasti akan merindukannya ketika suatu saat nanti masing-masing dari kita sudah punya kehidupan sendiri-sendiri (-.-" loohh....).

( Kembali pada waktu 12.30pm) aku masih dengan malas, terpaksa menyeretkan langkahku patah-patah, mengikuti jalan yang rasanya bersikongkol dengan matahari, puaannassnya....hmmm. Namun tiba-tiba aku terdiam dengan kedua mataku menyipit sempurna. Tak lagi bergerak, Tak lagi peduli soal matahari namun hanya terpaku pada dua sosok yang mampu menarik atmosphir pikiranku. Dua sosok nenek, seumuran nenekku yang kini di Desa, tengah berhenti sejenak melepas lelah masih dengan sebongkok kayu yang menempel tak sempurna di punggung rentanya, tepat 10 meter didepanku yang masih mematung layaknya tak bernyawa. Kulitnya coklat kusam menandakan ia tak lagi bersaing dengan ganasnya matahari, hanya kepasrahan yang terpancar pada wajah sendunya yang kutaksir pernah cantik di masa mudanya. Aku diam, tak mampu berkata-kata lagi, kupandangi wajahnya yang sarat dengan perjuangan hidup, seakan memastikan bahwa dirinya masih sanggup berjalan lagi... setidaknya sampai nanti di rumahnya. Ah nenek....

Ingatanku berputar pada 6 tahun yang lalu, saat itu aku tengah berada di bangku SMP, saat itu aku hendak mengikuti ujian kelas namun salah satu pengurus asrma memanggilku melalui pengeras suara. Kata beliau salah seorang keluargaku akan datang menjemputku pulang, maklum... karena waktu itu aku asrama.

Dua jam berikutnya benar, om ku menjemputku setelah mengurusi beberapa hal yang perlu diurus. Aku masih diam tak megerti, ada apa? mengapa? berbagai pertanyaan menghantui pikiranku. Namun tak pernah di jawab oleh omku, omku masih seperti biasa, bertutur, berhumor tidak ada kesan bahwa sesuatu yang buruk baru saja terjadi. Hanya baru kusadari 30 menit kemudian, kita telah melewati jalur yang berbeda dengan jalur menuju rumahku."kok lewat sini??" tanyaku gusar. ia sejenak terdiam, ada sesuatu yang berbeda dengan matanya, tak pernah kulihat ekspresii seperti ini sebelumnya. Dia menarik nafas panjang, " janji nurutin kata om ya..?" Kulihat sekali lagi dari sudut mataku, hanya mengangguk dan ikut menarik nafas bingung. "ada apa sebenarnya?" Aku bertambah gusar lagi. Tak nyaman dengan suasana seperti ini. Namun lagi-lagi ia hanya terdiam.

Tiba-tiba aku merasa sendiri. Padahal waktu itu jalanan sangat bising dan ramai, namun entah mengapa ada suatu hal yang menganggu pikranku. Di detik berikutnya aku benar-benar membeku. Pikiranku buntu. Saraf otakku tak dapat bekerja cepat. Dari kejauhan aku melihat merah. Hanya merah. Bendera itu melambai terkulai lemah pada ikatannya yang telah diikatkan pada batang kayu yag nampak mencolok. Dadaku bergetar keras tak ingin berprasangka pada hal-hal konyol yang merasuki pikiranku. Dan baru kali ini aku merasa takut yang luarbiasa mengiringi mobil yang mulai memasuki gang sempit itu. Kulihat Ismail berlari memelukku, matanya merah, pelukannya yang lemas juga bisa kurasakan pada tubuhku yang masih membeku. Ia membelai kepalaku dengan perasaan beraduk lalu memelukku lagi. "Nenek telah tiada Li..." bisiknya lembut tapi malah terdengar menakutkan di telingaku. Aku langsung lemas tak berdaya, hampir saja ambruk kalau Ismail tak lagi memegangku. Ingin sekali berteriak bahwa aku masih tak menerimanya, mengapa nenek ku? mengapa harus dia? sosok teduh yang selalu dekat denganku, sosok yang selalu memanjakanku, sosok yang selalu mengajakku untuk melakukan hal-hal yang tak pernah aku lakukan, tapi kini... saat aku jauh, saat aku tak bisa bertemu dengannya selama sebulan penuh, saat aku merasa dipisahkan, saat aku ingin memeluknya, saat aku tak tau lagi hal apa yang belum pernah aku lakukan, dan saat ini.... ketika semua mimpi untuk bertemu dengannya tak pernah terwujud.. Aku menangis, bukan.. aku tak akan menangis karena aku telah berjanji tak akan menangis, mataku hanya merah, namun hatiku menangis melebihi tangis yang ada pada orang-orang disini. sangat menyakitkan, ketika seseorang pergi sebelum kita sempat menemuinya, meminta maaf akan hal-hal yang pernah dilakukan. Aku menangis dalam hati. Aku ingin memeluknya. Aku ingin bersamanya. Aku ingin....tidak pernah berpisah dengannya. Namun takdir tak pernah dipegang oleh manusia. Dan aku harus merrelakannya, mendo'akan ia agar ia baik-baik saja... mengubur sisa-sisa harapanku dengan mulai mengunangnya mataku.

12.30 ketika aku masih terdiam melihat 2 nenek itu mulai menjauh dengan langkah yang terrtatih, dimana anaknya...?? di mana cucunya...?? mengapa ia membiarkannya berjalan di teriknya matahari?? Sangat mengesalkan jaman sekarang, tak ada peduli pada tubuh ringkihnya. Dan aku hanya berpransangka baik mengenai anak dan cucunya. Nek... semoga engkau diberkahi oleh-Nya...

Dia yang Muncul pada Sepotong Episodeku

Posted by : la plui
Date :Kamis, 10 Mei 2012
With 0komentar

Sunrise #part 1

| Selasa, 08 Mei 2012
Baca selengkapnya »
Semarang, Ahad, 6 Mei 2012

Mentari masih tergolong malu untuk bergegas naik ke singgasananya, suasana riuh burung gereja masih terdengar nyaring di atas balkon asramaku, suasana sepi kian menjelma tatkala satu per satu teman-temanku beranjak untuk pergi, hang out bareng mumpung masih tergolong weekend. Ku amati jam yang tertera di layar ponseku yang mungil. Masih pukul 7 se-per-empat desisku, berarti masih terlalu pagi untuk segera pergi.
yaa... aku selalu menanti ketika waktu sudah menunjukkan 7.14 sampai skitar 7.30, saat kawanan itu melewati asramaku, kepakan sayapnya seakan penuh dengan kantung-kantung mimpi dan harapan untuk kembali pulang nantinya. Alap-alap itu sekitar 5 sampai 6 ekor, matanya selalu memandang ke depan, namun juga tak lengah dari apa yang ada di sekitarnya. Dan aku selalu menantinya datang, dan selalu berlari ke atas balkon :D

Pukul 7.30 setelah alap-alap itu mulai menjauh

Seorang teman berbaik untuk menjemputku, dan seperti biasanya, menungguku, berkomentar dengan pakaianku, menanyakan makanan, sampai apa yang akan terjadi nantinya. Temanku yang satu ini tergolong unik, ia masih terlalu ke-kanak-kanakan di usianya yang ke 19 itu, cara bicaranya, cara ia berjalan, cara ia memandang dan begitulah.. dan aku menyukainya, bukan tanda kutip suka yang itu.

8.03 dalam perjalanan yang mendebarkan

Aku belum berani untuk menegakkan muka dan memberanikan diri mengetuk pintu berwarna coklat itu, seharusnya aku bisa terbiasa dengan rutinitas ini, mengetuk, memberi salam, menanyakan apa yang bisa kubantu, toh ini juga akan berlangsung lebih lama lagi. Tapi... arrgh... masa bodoh, lagian ini baru awal aku menapaki jalan yang kurasa begitu mudah untuk di tapaki.

Hanya satu yang membuat aku melangkah jauh ke sini, ke tempat dimana aku sebelumnya tak pernah menginjakkan kakiku di sini. Yakni mata beningnya. Begitu sempurna bila dilewatkan begitu saja...
Satu nama yang masih terlekat dalam memoriku kini. Niko.
Dan aku selalu tak sabar untuk menemuinya...





Sunrise #part 1

Posted by : la plui
Date :Selasa, 08 Mei 2012
With 0komentar

Aksara Buta

| Selasa, 01 Mei 2012
Baca selengkapnya »
Aku memang telah lama tak menjejakkan kaki-kakiku di atas aksara yang entah masih diam membeku atau telah enggan menungguku, kadang rindu ingin memulainya, menapakinya lagi seperti musim lalu yang sarat lindap dengan airmata. Bukan benci, bukan tidak mau, namun memulainya sama saja mengurai resiko itu untuk turut mengeja tiap aksara yang akan tertuang. Aku memang lelah ketika dia mengejaku, meniti tiap gerak yang selalu aku munculkan, tiap kali ada kesempatan, tiap ada hal yang memang ada untuk di sapa dan tiap tiap kalinya. Bukannya aku limbung dalam permainan topannya, juga bukan karena nantinya akan tenggelam di tiap pusarannya, benar... hanya malu.

Kini aksaraku semakin buta tak tentu arah, merunduk pilu meski sebenarnya dalam sarinya masih tersimpan butiran asa yang sempat merintih. Lama tak terdengar suara, hanya sayup-sayup mulai menapaki dinding telinga. Harus bagaimana sariku ketika tiang-tiangnya tak berhasil berdiri dengan sempurna? Aku pun mulai meragu tatkala sari itu melayu, semakin menunduk seakan bertasbih dalam lingkaran embun yang sempat tertitik jatuh membasahi sayapnya yang perlahan tak mampu ia kepakkan. Dan ia telah lumpuh.

Dua-tiga tahun memang tak cukup untuk memulainya lagi, seakan ia memang telah ditakdirkan menjauh dari kelopak mataku, dan memang. masing dari kita mempunyai hal yang pabila di satukan tak kan banyak berarti, karena jalan telah bercabang, dan cabangnya pun bercabang. Aku tau aksaraku tak sehebat dengungan yang jikalau didengar begitu mempesona, juga bukan seindah tuts tuts yang bila di mainkan mengundang ribuan pasang mata dan telinga mendengarnya. Yang aku tau aku harus memulainya, dengan atau tanpa mu.

Harus kuakui, aku merindu tiap jejak aksaramu....




Aksara Buta

Posted by : la plui
Date :Selasa, 01 Mei 2012
With 0komentar
Next Prev
▲Top▲