Aku tak
mengerti mengapa tiba-tiba aku ingin menulis cerita ini, tapi satu hal yang
pasti sedang aku rasakan ini, rindu. Kisah ini bermula dari beberapa tahun yang
lalu dan aku tak kan pernah melupakannya, sebuah penampungan yang dulu selepas masa
SD aku tak pernah membayangkan akan berada di sana setelahnya, karena aku
adalah tipe anak yang tak pernah jauh dari orangtuaku, namun aku menyadari
bahwa aku memang berada di sana tepat 6 tahun yang lalu.
Aku
menyebutnya sebuah penampungan, tapi tentu saja itu tidak masuk akal, sebuah
penampungan tidak akan seperti ini, karena menurutku, penampungan itu adalah
tempat yang mengenaskan, tapi nyatanya ini adalah baik-baik saja (untuk waktu
yang dekat setidaknya -.-”). Mungkin
sebutan kampung lebih enak tepatnya untuk bisa masuk dan kemudian keluar lewat telinga, yaah.. harus di mengerti bahwa aku
pada waktu itu memang kejam, sedikit kejam maksudnya, mungkin akibat paranoid
atau penyakit semacamnya.
Melelahkan...,
setidaknya itu kesan di bulan pertama
aku menjalani sebuah kehidupan tanpa ada kata yang namanya “kekonyolan”, aku
memang type anak banyak tingkah dan kau tau..?? banyak tingkah disini
mengakibatkan sebuah (beberapa buah mungkin) hukuman, pengurangan point atau
bahkan penyadapan telepon umum, benar-benar....!! aku bahkan pernah tidak bisa
menggunakan telepon umum gara-gara melakukan tindak kekonyolan yang seharusnya
tidak pernah terjadi...ohh, what a poor I am. T.T
3 tahun berlalu,
kemudian 2 tahun lagi menyusulnya untuk berlalu, masa kekanak kanakkan ku telah
habis, berganti dengan sebuah paradigma masalah yang baru pula, aku kini sudah
berada di tempat jauh yang dulu aku tak bermimpi untuk menjangkaunya,
bayangan-banyangan masa lalu itu selapis demi selapis terlepas dari ingatanku,
seperti bunga padang yang bila di tiup akan terbang dengan sebuah tiupan
harapan. Jenuh...?? sedikit, tapi aku harus melewatinya.
Tiba-tiba waktu
dini hari, 4.00 wib aku terduduk memikirkan jalan hidupku... tidak lurus-lurus
amat, mungkin lebih banyak belokannya ketimbang yang lurus, hanya aku ingin
menangis, entah apa yang harus aku tangisi, tidak ada alasan, hanya ingin
memangis, bukan karna hidupku, bukan karena sahabatku, bukan karena keluargaku
dan bukan juga karena kisah cintaku. Aku menangis.
Orang yang
memiliki kelenjar air mata yang banyak adalah beruntung, tak tau kenapa, karena
pasti setiap ada masalah tak lebih dari beberapa jam kemudian mereka bisa
tersenyum riang seolah-olah tidak ada sesuatu sebelumnya, aku benar-benar iri.
Aku hanya bisa menangis apabila ada sesuatu hal yang sangat berat aku
rasakan...Masih dalam seragam SMA waktu itu, ketika luapan amarahku kepada
orang tua tak kunjung reda, mama hanya uring-uringan ketika bisnisnya mulai
hancur, sedang papa tak tau kemana perginya. Kini aku bahkan tak tau bagaimana
kabar keduanya, karena aku di sini, di tempat jauh di mana mereka tak kan
peduli lagi padaku.
Sesaat aku
tersadar dari lamunanku, bergegas melipat mukena yang masih menempel, teringat
akan jam pagiku kini, 3 sks dengan dosen yang menurut teman-teman salah satu
dari dosen yang notabenenya killer. Tak pernah kusangkal dengan opini yang beredar
selama ini. Dosen satu-satunya yang menghendaki kualitas mahasiswa yang real,
nyata dengan kualitas usia dan pencapaian ilmu yang selama ini telah ditempuh.
Dan itu kurang lebih selama 14 tahun berjalan selama ini.
07.00, kampus hijau
Sepertinya benar,
mentari pagi enggan memancarkan cahayanya yang cemerlang. Seolah-olah telah
mencuri pandang isi hati mahasiswa rombel a ini, aneh memang tapi mungkin itu
juga bisa menjadi satu-satunya alasan yang pas buat kami, para mahasisiwa yang
ilfil dengan dosen matematika ini.
“ Sarah..??”
sebuah suara tiba-tiba dan tanpa kuizinkan telah terdengar di telingaku. Aku
memiringkan kepala yang pada saat itu posisiku sedang duduk tanpa beralaskan
apapun di taman depan Gedung auditorium. Ternyata Jimmy, teman satu rombel.
Heran..? tentu saja iya, karena Jimmy merupakan kalangan cowok-cowok keren
tetapi sangat eksklusif, yang jarang sekali mau bertegur sapa dengan para
gadis-gadis kampus kecuali dari firqah-firqah mereka. (kata mereka sih firqah =
golongan). Tapi tau dehh.. aku agak sensi ketemu mereka, ganteng sih ganteng,
tapi kalo membeda-bedakan temen sih yaa namanya sama saja. Namun disini aku
harus calmdown.
“ oh Jimmy..??
ada apa?” tanyaku heran,
“ enggak, ini..
ada salah satu dari temanku yang bilang kalau kmu bakat buat handicraft
spesialis flanel, emm.. kira-kira kmu mau nggak ngajarin temen-temenku?” jelasnya
sembari mngelurkan undangan itu. Aku hanya tersenyum. Dan ia beranjak pergi.
Ba’da Ashar, Az-zahra
Kuparkirkan
motorku di depan sebuah bangunan yang nyaris tua, Az-Zahra. Sedikit termangu
ketika membaca nama yang tertera di papan bercat biru muda itu. Pelan,
kulangkahkan kakiku menuju pintu masuk utama, mataku langsung tertuju pada
sosok yang sedang menata shaf teman-teman kecilnya, ya.. baru kutahu kemudian
ternyata bangunan ini adalah panti asuhan. Ia menoleh sesaat, mata itu terpaku
menatapku, aku menangkap secercah senyum itu, kembali. Sengaja mengurai kembali
kisah klasik yang sempat bungkam dalam labirin. Namun justru aku kembali
terdiam tetap dalam pijakanku yang sama. Berat sekali rasanya ketika harus
bertemu dalam keadaan seperti ini. Aku hanya berharap menghilang dalam detik
itu juga.
“Sarah... bukannya aku ingin
berhenti ketika sebelumnya sudah kukatakan bahwa ternyata persimpangan jalan
itu sudah di depanku, Bukan pula karena kamu ketika akhirnya kuputuskan bahwa
aku tiba-tiba ingin mengakhirinya, sungguh
bukan sarah... hanya kini waktuku yang tersisa meski kemudian kau dan
aku tau bahwa jauh bukan berarti tidak bisa, tapi kumohon jangan membenciku,
jangan membenciku selagi aku ingin menjejakkan kakiku di nege.....” belum
sempat Aris menyelesaikannya, aku menangis, berlari meninggalkannya, yang baru
kutahu itu waktu yang lama untuk bisa bertemu. Aku menyalahkan dia, menyesali
keputusannya, dan tanpa sadar aku mulai membencinya.
Namun, butuh waktu yang lama
agar aku bisa tidak lagi mengingatnya, mengingat waktu yang kita habiskan
hampir selalu bersama, dan waktu 2 tahun telah menghapusnya.
“Sarah... lama tak bertemu” senyumnya mengembang. Aku masih tak
berkutik di depannya, beruntung kemudian Tika, temanku, menyeretku untuk segera
melakukan prepare di ruangan dalam. Sekuat tenaga aku mengusir bayangannya.
“Kamu baik-baik saja kan? Lihat... sepertinya dirimu mencemaskan
sesuatu, perlu aku bantu?” tanya Tika
Aku hanya menggeleng lemah, pertemuan tadi benar-benar membuatku
lemas. Ah.... seandainya aku bisa melarikan diri saat ini juga. Tapi entah
kenapa tiba-tiba aku di kejutkan oleh tepukan kecil di bahuku, mataku membulat,
sosok mungil itu memenuhi pupil mataku sekarang. Mata abu-abunya memancarkan
aura yang aneh, tapi aku bisa meraskannya. Terkejut ketika ia dengan tangan
mungilnya memelukku pelan, aku heran dengan malaikat mungil ini.
“Ada apa sayang...?” ucapku lembut sembari menangkupkan kedua tanganku
pada bulat wajahnya.
“Kakak...” bisiknya pelan. Aku terdiam menunggu kata yang akan keluar
selanjutnya, namun kata itu tak juga kunjung terlontar dari bibirnya. Ku usap
pelan kepalanya, ku cium keningnya seperti yang biasa aku lakukan pada
keponakanku.
“Aku ingin sama kakak...kumohon jangan pergi kak....”
Aku hanya mematung mendengar ucapannya, kutatap mata Tika yang pada
saat itu sedang menatapnya. Beralih lagi tatapanku pada bocah yang masih saja
memelukku ini. “ iya sayang... kakak masih disini kok...Dika (ku tau namanya
saat Tika menlafalkan nama itu) maen dulu sama temen-temen yak... kak Sarah mau
nyiapin kain flanel dulu...” dia hanya mengangguk dan perlahan bangkit menuju
teman-temannya.
Aku menarik nafas
panjang, baru setelah Tika cerita ternyata Dika kehilangan seorang kakak yang
mirip wajahnya dengan wajahku, katanya waktu itu saat Dika tengah bermain bola
di depan rumah entah kenapa tiba-tiba bola itu meluncur di tengah jalan yang
dari arah berlawanan meluncur pula sebuah mobil yang sama kencangnya, kejadian
itu tak dapat dihindari lagi, karena sebenarnya takdir telah tertulis, bahwa
hidup mati seseorang telah tercatat pasti. Ia beranjak dan mengambil sebuah
foto yang kemudian di serahkannya padaku. Tak pernah tau bagaimana ekspresiku
saat itu, tak pernah juga berfikir bahwa seseorang yang ada pada foto tersebut
aku telah mengenalnya sebaik aku mengenal diriku sendiri.
“Kau tau Sarah... sehabis SMP ini aku
mungkin gak pernah liat kamu lagi, mungkin juga aku kan kembali ke Bali dan tak
akan ke Jawa lagi, melanjutkan SMA dan Kuliah di sana, Menikah pun mungkin juga
akan di sana hehee... jadi ini aku kasih sulaman tercantiikkk diduniiaaa hehe”
terkekeh ia saat seminggu terakhir sebelum akhirusannah.
“heyy...sapa tau kau akan
dapat jdoh disini, sapa tau kakakku aku suruh buat melamar kamu...”
“yee sapa yang mau...”
“yaa kamu lah.. masak aku??
Kan aku adeknya”. Kami hanya bisa tertawa lepas sesore itu..
.........
“Aku pulang dulu yaa
Sarah... nanti kalau aku sudah sampai di Bali aku hubungi, itu kakakku sudah
sampai” lirih berkata padaku, memelukku erat seakan ia benar-benarakan hilang.
Dan aku hanya terdiam tak tau bagaimana, sahabat ku kini akan pergi setelah apa
yang dilakukan selam 3 tahun secara bersama-sama, aku hanya diam memeluknya
semakin erat, air mataku berlinang, aku tak bisa menangis, hanya air mataku
yang deras mengalir. “ Sampai jumpa kawan... hati-hati di jalan.. jangan pernah
melupakanku”. Hanya anggukan yang akhirnya melepaskan pelukan kami pada sore di
Kampung yag dulunya kubenci sepenuh hati. Ada yang hilang.
Teringat kembali memori yang sempat hilang itu, Sasti, seorang teman
yang sudah aku anggap sebagi keluargaku sendiri kini benar-benar telah pergi.
Semoga tempatmu kini lebih baik dari yang sebelumnya sas...
Sore hari, Ketika Senja
mulai meranjak
Harapan, keinginan, ketecapaian tidak
selalu datang secara tiba-tiba dan kebetulan, namun ia datang ketika memang ada
hal yang perlu diharapkan, seperti sekarang ini tatkala suatu hari memiliki
kejuatan untukku, tentang masa laluku, tentang kisah cintaku, tentang kehidupan
nyataku, dan kehidupan yang yang akan menyapaku esok, aku akan berharap semua
selalu akan baik-baik saja..., seperti kehidupan burung yang bebas namun ia tak
terlepas begitu saja...., dalam sepotong senjaku, kini aku selalu berdua
bersamanya.....