Ketika Senja Menemukanmu

| Selasa, 22 Mei 2012


Aku tak mengerti mengapa tiba-tiba aku ingin menulis cerita ini, tapi satu hal yang pasti sedang aku rasakan ini, rindu. Kisah ini bermula dari beberapa tahun yang lalu dan aku tak kan pernah melupakannya, sebuah penampungan yang dulu selepas masa SD aku tak pernah membayangkan akan berada di sana setelahnya, karena aku adalah tipe anak yang tak pernah jauh dari orangtuaku, namun aku menyadari bahwa aku memang berada di sana tepat 6 tahun yang lalu.
                Aku menyebutnya sebuah penampungan, tapi tentu saja itu tidak masuk akal, sebuah penampungan tidak akan seperti ini, karena menurutku, penampungan itu adalah tempat yang mengenaskan, tapi nyatanya ini adalah baik-baik saja (untuk waktu yang dekat setidaknya -.-”). Mungkin sebutan kampung lebih enak tepatnya untuk bisa masuk dan kemudian keluar lewat  telinga, yaah.. harus di mengerti bahwa aku pada waktu itu memang kejam, sedikit kejam maksudnya, mungkin akibat paranoid atau penyakit semacamnya.
                Melelahkan..., setidaknya itu  kesan di bulan pertama aku menjalani sebuah kehidupan tanpa ada kata yang namanya “kekonyolan”, aku memang type anak banyak tingkah dan kau tau..?? banyak tingkah disini mengakibatkan sebuah (beberapa buah mungkin) hukuman, pengurangan point atau bahkan penyadapan telepon umum, benar-benar....!! aku bahkan pernah tidak bisa menggunakan telepon umum gara-gara melakukan tindak kekonyolan yang seharusnya tidak pernah terjadi...ohh, what a poor I am. T.T
                3 tahun berlalu, kemudian 2 tahun lagi menyusulnya untuk berlalu, masa kekanak kanakkan ku telah habis, berganti dengan sebuah paradigma masalah yang baru pula, aku kini sudah berada di tempat jauh yang dulu aku tak bermimpi untuk menjangkaunya, bayangan-banyangan masa lalu itu selapis demi selapis terlepas dari ingatanku, seperti bunga padang yang bila di tiup akan terbang dengan sebuah tiupan harapan. Jenuh...?? sedikit, tapi aku harus melewatinya.
                Tiba-tiba waktu dini hari, 4.00 wib aku terduduk memikirkan jalan hidupku... tidak lurus-lurus amat, mungkin lebih banyak belokannya ketimbang yang lurus, hanya aku ingin menangis, entah apa yang harus aku tangisi, tidak ada alasan, hanya ingin memangis, bukan karna hidupku, bukan karena sahabatku, bukan karena keluargaku dan bukan juga karena kisah cintaku. Aku menangis.
                Orang yang memiliki kelenjar air mata yang banyak adalah beruntung, tak tau kenapa, karena pasti setiap ada masalah tak lebih dari beberapa jam kemudian mereka bisa tersenyum riang seolah-olah tidak ada sesuatu sebelumnya, aku benar-benar iri. Aku hanya bisa menangis apabila ada sesuatu hal yang sangat berat aku rasakan...Masih dalam seragam SMA waktu itu, ketika luapan amarahku kepada orang tua tak kunjung reda, mama hanya uring-uringan ketika bisnisnya mulai hancur, sedang papa tak tau kemana perginya. Kini aku bahkan tak tau bagaimana kabar keduanya, karena aku di sini, di tempat jauh di mana mereka tak kan peduli lagi padaku.
                Sesaat aku tersadar dari lamunanku, bergegas melipat mukena yang masih menempel, teringat akan jam pagiku kini, 3 sks dengan dosen yang menurut teman-teman salah satu dari dosen yang notabenenya killer. Tak pernah kusangkal dengan opini yang beredar selama ini. Dosen satu-satunya yang menghendaki kualitas mahasiswa yang real, nyata dengan kualitas usia dan pencapaian ilmu yang selama ini telah ditempuh. Dan itu kurang lebih selama 14 tahun berjalan selama ini.


07.00, kampus hijau
                Sepertinya benar, mentari pagi enggan memancarkan cahayanya yang cemerlang. Seolah-olah telah mencuri pandang isi hati mahasiswa rombel a ini, aneh memang tapi mungkin itu juga bisa menjadi satu-satunya alasan yang pas buat kami, para mahasisiwa yang ilfil dengan dosen matematika ini.
                “ Sarah..??” sebuah suara tiba-tiba dan tanpa kuizinkan telah terdengar di telingaku. Aku memiringkan kepala yang pada saat itu posisiku sedang duduk tanpa beralaskan apapun di taman depan Gedung auditorium. Ternyata Jimmy, teman satu rombel. Heran..? tentu saja iya, karena Jimmy merupakan kalangan cowok-cowok keren tetapi sangat eksklusif, yang jarang sekali mau bertegur sapa dengan para gadis-gadis kampus kecuali dari firqah-firqah mereka. (kata mereka sih firqah = golongan). Tapi tau dehh.. aku agak sensi ketemu mereka, ganteng sih ganteng, tapi kalo membeda-bedakan temen sih yaa namanya sama saja. Namun disini aku harus calmdown.
                “ oh Jimmy..?? ada apa?” tanyaku heran,
                “ enggak, ini.. ada salah satu dari temanku yang bilang kalau kmu bakat buat handicraft spesialis flanel, emm.. kira-kira kmu mau nggak ngajarin temen-temenku?” jelasnya sembari mngelurkan undangan itu. Aku hanya tersenyum. Dan ia beranjak pergi.
Ba’da Ashar, Az-zahra
                Kuparkirkan motorku di depan sebuah bangunan yang nyaris tua, Az-Zahra. Sedikit termangu ketika membaca nama yang tertera di papan bercat biru muda itu. Pelan, kulangkahkan kakiku menuju pintu masuk utama, mataku langsung tertuju pada sosok yang sedang menata shaf teman-teman kecilnya, ya.. baru kutahu kemudian ternyata bangunan ini adalah panti asuhan. Ia menoleh sesaat, mata itu terpaku menatapku, aku menangkap secercah senyum itu, kembali. Sengaja mengurai kembali kisah klasik yang sempat bungkam dalam labirin. Namun justru aku kembali terdiam tetap dalam pijakanku yang sama. Berat sekali rasanya ketika harus bertemu dalam keadaan seperti ini. Aku hanya berharap menghilang dalam detik itu juga.
“Sarah... bukannya aku ingin berhenti ketika sebelumnya sudah kukatakan bahwa ternyata persimpangan jalan itu sudah di depanku, Bukan pula karena kamu ketika akhirnya kuputuskan bahwa aku tiba-tiba ingin mengakhirinya, sungguh  bukan sarah... hanya kini waktuku yang tersisa meski kemudian kau dan aku tau bahwa jauh bukan berarti tidak bisa, tapi kumohon jangan membenciku, jangan membenciku selagi aku ingin menjejakkan kakiku di nege.....” belum sempat Aris menyelesaikannya, aku menangis, berlari meninggalkannya, yang baru kutahu itu waktu yang lama untuk bisa bertemu. Aku menyalahkan dia, menyesali keputusannya, dan tanpa sadar aku mulai membencinya.
Namun, butuh waktu yang lama agar aku bisa tidak lagi mengingatnya, mengingat waktu yang kita habiskan hampir selalu bersama, dan waktu 2 tahun telah menghapusnya.
“Sarah... lama tak bertemu” senyumnya mengembang. Aku masih tak berkutik di depannya, beruntung kemudian Tika, temanku, menyeretku untuk segera melakukan prepare di ruangan dalam. Sekuat tenaga aku mengusir bayangannya.
“Kamu baik-baik saja kan? Lihat... sepertinya dirimu mencemaskan sesuatu, perlu aku bantu?” tanya Tika
Aku hanya menggeleng lemah, pertemuan tadi benar-benar membuatku lemas. Ah.... seandainya aku bisa melarikan diri saat ini juga. Tapi entah kenapa tiba-tiba aku di kejutkan oleh tepukan kecil di bahuku, mataku membulat, sosok mungil itu memenuhi pupil mataku sekarang. Mata abu-abunya memancarkan aura yang aneh, tapi aku bisa meraskannya. Terkejut ketika ia dengan tangan mungilnya memelukku pelan, aku heran dengan malaikat mungil ini.
“Ada apa sayang...?” ucapku lembut sembari menangkupkan kedua tanganku pada bulat wajahnya.
“Kakak...” bisiknya pelan. Aku terdiam menunggu kata yang akan keluar selanjutnya, namun kata itu tak juga kunjung terlontar dari bibirnya. Ku usap pelan kepalanya, ku cium keningnya seperti yang biasa aku lakukan pada keponakanku.
“Aku ingin sama kakak...kumohon jangan pergi kak....”
Aku hanya mematung mendengar ucapannya, kutatap mata Tika yang pada saat itu sedang menatapnya. Beralih lagi tatapanku pada bocah yang masih saja memelukku ini. “ iya sayang... kakak masih disini kok...Dika (ku tau namanya saat Tika menlafalkan nama itu) maen dulu sama temen-temen yak... kak Sarah mau nyiapin kain flanel dulu...” dia hanya mengangguk dan perlahan bangkit menuju teman-temannya.
                Aku menarik nafas panjang, baru setelah Tika cerita ternyata Dika kehilangan seorang kakak yang mirip wajahnya dengan wajahku, katanya waktu itu saat Dika tengah bermain bola di depan rumah entah kenapa tiba-tiba bola itu meluncur di tengah jalan yang dari arah berlawanan meluncur pula sebuah mobil yang sama kencangnya, kejadian itu tak dapat dihindari lagi, karena sebenarnya takdir telah tertulis, bahwa hidup mati seseorang telah tercatat pasti. Ia beranjak dan mengambil sebuah foto yang kemudian di serahkannya padaku. Tak pernah tau bagaimana ekspresiku saat itu, tak pernah juga berfikir bahwa seseorang yang ada pada foto tersebut aku telah mengenalnya sebaik aku mengenal diriku sendiri.
                “Kau tau Sarah... sehabis SMP ini aku mungkin gak pernah liat kamu lagi, mungkin juga aku kan kembali ke Bali dan tak akan ke Jawa lagi, melanjutkan SMA dan Kuliah di sana, Menikah pun mungkin juga akan di sana hehee... jadi ini aku kasih sulaman tercantiikkk diduniiaaa hehe” terkekeh ia saat seminggu terakhir sebelum akhirusannah.
“heyy...sapa tau kau akan dapat jdoh disini, sapa tau kakakku aku suruh buat melamar kamu...”
“yee sapa yang mau...”
“yaa kamu lah.. masak aku?? Kan aku adeknya”. Kami hanya bisa tertawa lepas sesore itu..
                                                                                                .........
“Aku pulang dulu yaa Sarah... nanti kalau aku sudah sampai di Bali aku hubungi, itu kakakku sudah sampai” lirih berkata padaku, memelukku erat seakan ia benar-benarakan hilang. Dan aku hanya terdiam tak tau bagaimana, sahabat ku kini akan pergi setelah apa yang dilakukan selam 3 tahun secara bersama-sama, aku hanya diam memeluknya semakin erat, air mataku berlinang, aku tak bisa menangis, hanya air mataku yang deras mengalir. “ Sampai jumpa kawan... hati-hati di jalan.. jangan pernah melupakanku”. Hanya anggukan yang akhirnya melepaskan pelukan kami pada sore di Kampung yag dulunya kubenci sepenuh hati. Ada yang hilang.
Teringat kembali memori yang sempat hilang itu, Sasti, seorang teman yang sudah aku anggap sebagi keluargaku sendiri kini benar-benar telah pergi. Semoga tempatmu kini lebih baik dari yang sebelumnya sas...
Sore hari, Ketika Senja mulai meranjak
Harapan, keinginan, ketecapaian tidak selalu datang secara tiba-tiba dan kebetulan, namun ia datang ketika memang ada hal yang perlu diharapkan, seperti sekarang ini tatkala suatu hari memiliki kejuatan untukku, tentang masa laluku, tentang kisah cintaku, tentang kehidupan nyataku, dan kehidupan yang yang akan menyapaku esok, aku akan berharap semua selalu akan baik-baik saja..., seperti kehidupan burung yang bebas namun ia tak terlepas begitu saja...., dalam sepotong senjaku, kini aku selalu berdua bersamanya.....


               
                

0 komentar:

Next Prev
▲Top▲