Menyentuh Takdir

| Minggu, 22 Juli 2012

Dan tatkala keputusan itu datang, maka aku menyebutnya takdir yang terdiri dari puing-puing kesemestaan, maka seharusnya aku sadar, terlalu tinggi ketika aku ingin meraih bintang, yang seharusnya di kepakkan pada sayap yang kokoh panjang, nyatanya sayap yang disini tengah lahir, lemah nan koyak ketika terserempet angin malam.

Lantunan yang kau sebut dalam surat cinta tergeletak tak bernyawa, koyak di bawah tumpukan koran minggu yang selalu kau baca. Murah, semurah isinya. Namun engkau tak tergoyah meski, meski datangnya seperti lokomotof, kencang namun tak bersuara. Dan di sini takdir berbicara.

Mahal memang ketika suatu hari kau tak keluar, namun pada titik ini aku ragu akan cara kerjanya, sebab bukan dan tidak menjadi kebiasaan tatkala itik beranak dan kucing bertelur, dan untuk ini aku mulai duduk tergugu memikirkan apa nantinya yang terjadi padaku. Ini lebih sekedar kekhawatiran, dan keyakinan.

Namun, sampai saat ini aku tak bisa berhenti untuk bermimipi, Bintang memang masih di sana dan tak kan berpindah tempat. Dan... jika ditanya suatu hari aku diminta untuk mengatakannya, maka dengan berat hati aku akan berkata "aku berharap bisa berhenti untuk bermimipi"

Dan mungkin saat ini Takdir tengah menuliskan namaku.

0 komentar:

Next Prev
▲Top▲